Setelah zaman orde baru, kata ‘intel’ ini seperti terdegradasi maknanya. Istilah intel atau intelijen yang menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti: orang yg bertugas mencari (meng-amat-amati) seseorang; dinas rahasia. Dari situ sudah terlihat gimana beratnya tugas orang yang punya profesi ini.
Mereka ini, terutama yang bekerja di lapangan, kadang memang harus bisa menjadi ‘orang lain’. Dia harus bisa lepas dari jati diri aslinya dan harus menguasai betul peran yang ia jalankan demi suksesnya misi yang diemban.
Sayangnya di zaman sekarang, intelijen kadang digunakan sebagai bahan untuk olok-olok. Atau, bisa saja seseorang mengaku sebagai orang intel untuk tujuan yang gak jelas.
Secara tugas dan kewajiban, jujurly saya gak gitu ngerti detailnya. Saya cuma bisa membayangkan beratnya tugas mereka. Lha wong jadi diri sendiri aja kita kadang harus berhati-hati demi menjaga nama baik, apalagi para petugas intelijen yang harus hidup dengan identitas lain.
Tapi apa semua orang intelijen itu harus menyamarkan identitasnya? Ya jelas nggak dong. Lha kalau dia memang menjabat sebagai Kepala Intelijen di suatu instansi, ya otomatis identitasnya terpapar. Gak usah mikir jabatan yang tinggi macam kepala dinas rahasia suatu negara deh. Ambil aja contoh kecil, misalnya AsIntel Kostrad atau AsIntel Kodam. Jabatan ini biasanya dipegang oleh orang yang berpangkat Kolonel. Dia bertanggung jawab kepada Pangkostrad atau Panglima Kodam tentunya.
Mereka ini mau nggak mau ya sudah pasti dikenal oleh orang yang memang berhubungan dengan dunianya. Bahkan orang sipil pun bisa tau siapa mereka, karena toh memang jabatannya terpampang jelas.
Nah yang saya mau cerita, ini menurut pandangan saya ya, secara individu para petugas intelijen ini sangat hebat. Di samping kewajibannya menjalankan tugas, mereka toh juga manusia biasa yang punya keluarga. Bisa jadi mereka ini seorang ayah atau seorang ibu.
Pernah gak sih ada yang merasa berat ninggalin anak dan keluarga karena harus pergi ke luar kota demi mengerjakan tugas kantor atau sekedar bertemu dengan klien malam-malam sekedar untuk ngebahas proyek? Kalau ada, paling tidak kita masih bisa bersyukur karena boleh bercerita ke keluarga kita tentang pekerjaan yang sedang kita lakukan.
Atau yang sedang ngalami kejengkelan luar biasa di tempat kerja, berantem sama boss misalnya? Tentu masih enak karena bisa curhat dengan kawan atau keluarga tentang masalahnya. Atau ya minimal berkicau lah di twitter atau pasang status di facebook š
Lha kalau seorang intel? Gak mungkin bisa ngelakuin itu semua. Kebayang gak sih kalau seorang ayah yang kebetulan menjabat sebagai petugas intelijen bercerita tentang pekerjaannya ke keluarga mereka? Bisa mati kaku itu yang dengar ceritanya.
Kalau dengan istrinya, mungkin gak terlalu masalah, karena bisa saja sang istri sudah paham dengan pekerjaan suaminya. Lha kalau anak kecil? Mana dia tahu apa arti Asisten Intelijen? Kenapa ayahnya suka diam kalau di meja makan atau sedang piknik keluarga? Atau ke mana ayahnya pergi pagi-pagi buta dan kadang baru pulang berhari-hari kemudian? Atau kenapa ayahnya tiba-tiba batal ikut mengambil rapor anaknya di hari Sabtu karena mendadak harus kerja? Padahal si anak hari itu bakal dapat penghargaan karena prestasinya di sekolah.
Saya sih cuma bisa ngebayangin beratnya si ayah, saya yakin sebagai manusia biasa mereka juga ingin menjelaskan kepada anak-anaknya. Tapi kalaupun mereka bercerita, ya pasti bukan cerita sebenarnya. Gak mungkin juga mereka cerita alasan kepergian mereka karena harus mengejar informasi tentang hilangnya senjata di pasukan A, misalnya. Kemudian selama 2 hari harus “memaksa” pencuri senjata yang sudah tertangkap supaya dia mau membongkar komplotannya. Beuuh..bisa gila itu anak-anak mereka mendengar cerita sang ayah.
Saya pribadi sih menaruh rasa hormat untuk profesi yang satu ini. Karena di level tertentu, mereka nggak akan diberi penghargaan saat mereka berprestasi. Padahal untuk sebagian orang, pengakuan prestasi itu penting banget. Bahkan ada yang suka gembar-gembor atas pencapaian keberhasilan mereka.
Kalau untuk sebagian besar orang intelijen, jelas gak mungkin. Ya iyalah, bisa terbongkar identitas mereka kalau mereka diberi pengakuan atas hasil kerjanya.
Rasa hormat saya semakin bertambah kalau tahu bahwa orang-orang intelijen yang berprestasi ini sukses di karir dan sukses juga sebagai seorang ayah atau ibu yang mampu menjaga kewarasan keluarganya. I salute you!
P.S. Iya, ini terinspirasi karena hebohnya soal #intel di twitter š
intel iki opo sih gil? indomie telur bukan ya
*ra ngerti ah pembicaraan tingkat tinggi sekali ..hihihi
LikeLike
tulisan yg apik *&waras
LikeLike
arep komentar ra ngerti opo seng arep dikomentari š
LikeLike
bang… dah lama ga berkunjung.. makin serius aja.. xixixi
LikeLike
nice blog, jd inget film red eye jadinya,,,,
LikeLike
susah juga ya jadi intel, harus kuat nahan nafsu, yaitu nafsu nggak cerita ttg pekerjaannya, sulit loh menurutku nahan nafsu yg satu ini
LikeLike
Intel? indomie telor? *eh*
LikeLike
Seorg intel..
Tdk d’butukan rakyat
melainkan negara,
dg tujuan untk rakyat,
tgs yg berat sebagai
dinding yg harus dilewati menuju
kemerdekaan sejati INDONESIA
LikeLike
huhhhhhhhh,,,,teryata begitu kerjanya seorang intel.pantes aja klu punya cwo seorang intel selalu aja gak punya waktu untuk ketemu,,,,bnyk hal yg dirahasiakan dr dirinya
LikeLike